Translate

13/06/08

Menyingkap Akar Sejarah Poligami



Poligami merupakan topik kajian yang selalu sengit diperdebatkan dalam diskursus fiqh munakahat Islam. Tak jarang sejumlah sejarawan melancarkan serangan telak bahwa Nabi Muhammad-lah yang pertama kali memprakarsai tradisi poligami. Jelas, tudingan macam itu terlalu mengada-ada. Sejarah membuktikan bahwa tradisi poligami sudah ada jauh sebelum Islam datang di kalangan suku-suku Arab pra-Islam, Persia, Yahudi, dan lain-lain. Tak hanya oleh suku-suku primitif, poligami juga beroleh tempat di kalangan suku-suku beradab.

Inilah cikal bakal silang pendapat poligami yang didedahkan Murthadha Muthahhari dalam bukunya, Duduk Perkara Poligami. Ia menggali akar poligami sejak perkembangannya yang paling purba. Bagaimana mungkin para sejarawan berkesimpulan bahwa Islam menumbuhsuburkan adat poligami, padahal usia poligami lebih tua dari usia Islam itu sendiri.

Sayang sekali, buku ini hanya hasil terjemahan satu bab dari The Right of Women in Islam (1981), bukan gagasan utuh Murthadha yang sangat erat kaitannya dengan polemik poligami. Inilah risiko yang mesti ditanggung akibat ketergesaan penerbit dalam mengejar target tema yang sedang santer diperbincangkan, tapi abai pada bagian-bagian yang "diduga" tak punya nilai jual.

Murthadha menyangkal poligami sebagai tirani, dominasi, dan perbudakan pria atas wanita. Muasal sejarah munculnya poligami bukan karena pria mendominasi wanita, lalu mereka merancang tradisi yang menguntungkan mereka. Kemunduran poligami juga bukan karena dominasi pria sudah mulai goyah.

Dalam konteks ini, ia menggunakan logika terbalik, kalau memang dominasi pria menjadi sebab poligami, kenapa Barat tidak menerapkannya? Padahal, di Abad Pertengahan, wanita Barat adalah wanita yang paling tidak beruntung di dunia. Seperti diakui Gustave le Bon bahwa pada zaman peradaban Islam, wanita diberi kedudukan yang persis sama dengan wanita Barat jauh hari kemudian. Setelah mempelajari sejarah zaman dahulu, tak ada lagi keraguan bahwa Islam mengajari kakek-kakek kita mengasihi wanita dan menghormatinya.

Kalau memang Islam menaruh hormat pada hak-hak wanita, kenapa hanya kaum pria yang boleh menikahi lebih dari satu istri (poligami), sementara wanita tidak? Murthadha merujuk sebuah riwayat ketika sekelompok wanita menghadap Sayidina Ali dan bertanya, "Mengapa Islam memperkenankan laki-laki punya lebih dari seorang istri tapi tidak mengizinkan wanita bersuami lebih dari seorang? Bukankah ini tidak adil?"

Ali menyuruh masing-masing dari mereka mengambil cangkir berisi air, lalu meminta mereka menuangkannya ke dalam mangkuk besar. Setelah cangkir-cangkir mereka kosong, Ali meminta mereka mengisi kembali cangkir dengan air dari mangkuk besar itu, dengan ketentuan mereka harus mengambil air yang tadi ditumpahkannya. "Air itu sudah tercampur, tak mungkin dipisahkan lagi," kata mereka. Maka, Ali berkata, "Bila seorang istri punya beberapa orang suami, ia akan melakukan hubungan seks dengan setiap suaminya, kemudian ia akan hamil. Bagaimana ia menentukan ayah anak yang dikandungnya?"

Murthadha hendak meluruskan pemahaman yang keliru terhadap tradisi poligami. Ia tak berpretensi memaklumatkan poligami lebih bermartabat ketimbang monogami. Ia hanya mempertanyakan, mengapa banyak orang mengecam keras poligami, sementara pada saat yang sama seks bebas dan homoseksual justru diperkenankan. Pria-pria modern bisa gonta-ganti pacar tanpa memerlukan formalitas mahar, nafkah, atau perceraian.

Bertrand Russell, pemikir yang paling keras mengecam poligami, dalam otobiografinya berkisah bahwa dalam hidupnya ada dua wanita setelah ibunya, yaitu Alys (istrinya) dan Lady Ottoline Morell (kekasihnya). Meski Russell tidak menyukai poligami, suatu hari filsuf itu jujur mengakui: "Mendadak saya sadar bahwa saya tidak lagi mencintai Alys." Kalau sudah begini, tentu poligami tak berguna lagi. Poligami atau tidak, hubungan perkawinan tentu bukan sebatas urusan seks.

DUDUK PERKARA POLIGAMI
Judul Asli : The Right of Women in Islam
Penulis : Murthadha Muthahhari
Penerbit : Serambi, Jakarta, Cetakan I, 2007, 154 halaman

By: Damhuri Muhammad (Alumnus Pascasarjana Filsafat UGM)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

wah, ngeliat fotonya itu saya lgsg pengen ngasih comment disini pak...hehe. btw knp foto ini yg dipasang untuk topik poligami ya pak? yang punya muka udh ngasi lisensi blom nih pak?