Translate

08/06/07

Menikah Bukan Hawa Nafsu

Seorang pemudi dengan berkaca-kaca bercerita kepada saya bahwa ia ingin segera menikah. Masalah itu begitu berat membebani pikirannya bahkan mempengaruhi ibadahnya. Ia menjadi tidak tenang, sholat tidak khusyu', juga sulit tidur. Kondisi fisiknya tentu jadi ikut terpengaruh.
Saya sedih mendengar curhatnya. Saya juga mencoba memahami perasaannya. Tapi wajarkah jika hal ini mengacaukan segalanya?

Ketika kuliah saya berharap bisa menikah maksimal usia 23 tahun. Namun Allah swt baru memberikan jodoh saat usia saya (baru) 25 tahun. Meski 'hanya' 2 tahun menanti, masa itu nyatanya tidaklah dapat dikatakan sebentar untuk menguji kesabaran jika tanpa ketegaran, rasa percaya diri, bebas dari prasangka dan perasaan tertekan. Satu hal yang membuat saya selalu merasa bersyukur saat itu adalah, Pertolongan Allah selalu datang, saya merasa beruntung dan tetap memiliki obsesi dan berkarya.

Seiring waktu, saya makin meyakini Alloh bisa menjodohkan hamba-Nya kapan saja. Tapi, seringkali Dia mempunyai rencana lain yang mesti kita ambil hikmahnya sebanyak-banyaknya. Saya menyadari menikah bukan unjuk prestasi yang harus dibanggakan. Bahagia mungkin benar, karena ia adalah anugrah istimewa. Tapi merasa bangga dan lebih baik dibanding orang lain, jelas tidak tepat. Apalagi dianggap segala-galanya.

Saya gemas mendengar seseorang berujar kepada pemudi yang usianya jauh lebih tua namun belum berkeluarga, ''Wah, kalau gitu saya dong yang harusnya dipanggil 'Mbak'. Anak saya kan sudah tiga.'' Saya saja tidak nyaman dengan ucapannya, apalagi yang bersangkutan? Saya tidak tahu, apakah ia sudah kehilangan kepekaan? Atau, memang begitu sifat manusia yang kerap di 'uji' dengan berbagai kemudahan dari Allah?

Seandainya tidak terlambat menemukan ungkapan indah dalam surat Al-Kahfi ayat 46: ''Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik di sisi Tuhanmu, serta lebih baik untuk menjadi harapan.'' Tentu saat itu saya akan menyadarkannya untuk bersikap lebih dewasa.

Manusia boleh berharap banyak tapi tidak selalu bisa memilih. Seandainya bisa pasti ia akan memilih yang 'enak-enak' berdasarkan nafsunya. Inilah bagian dari meng-Imani Qodar. Dalam masalah jodoh, perspektif iman harus senantiasa dikedepankan. Banyaknya muda/i yang belum menikah pada usia matang harus disikapi secara arif. Selain harus dicari solusinya, muda/i sebaiknya melakukan pembekalan diri. Semuanya tergantung kepadanya, apakah ia akan memandang sebagai ujian ataukah kelemahan? Jika ujian, maka mencari hikmah sebanyak-banyaknya akan lebih berkesan dan membahagiakan daripada mencemaskannya. Jika dianggap kelemahan, tidak akan ada yang didapat selain perasaan tertekan.

Sudah selayaknya pula seorang pemudi memandang makna pernikahan dari berbagai sisi. Saya mendengar sekarang ini banyak mahasiswi pondok (calon mub..ghot) yang minta dicarikan oleh 'tim’ calon yang mapan, karena saking seringnya ia mendengar keindahan pernikahan dinasehatkan lewat berbagai pengajian.
Bukan melarang untuk memikirkan dunia pernikahan pada usia relatif muda, tetapi yang jadi masalah adalah ketika harapan itu tidak segera terwujud. Kondisi ini jika tidak diimbangi kematangan jiwa dapat melemahkan semangat beraktivitas dan beribadah.
Agaknya, lebih positif jika pemudi membekali diri dengan cara menggali potensi diri dan prestasi, agar ia memiliki kematangan berpikir dan bisa menghargai diri sendiri, daripada hanya membayangkan sesuatu yang ia sendiri tidak tahu kapan dapat terwujud.

Menikah adalah sunah Rasul dan ibadah, ia pun merupakan ladang jihad pemuda/i. Saya yakin prestasi dan kualitas seorang pemudi sebelum menikah berbanding lurus dengan kualitasnya sesudah menikah. Artinya, kualitas seseorang setelah berumah tangga baik secara kejiwaan, ilmu maupun amalan sangat dipengaruhi bagaimana sosoknya sebelum menikah. Fenomena future setelah menikah sering terjadi, karena kurangnya pemahaman dan wawasan tentang pernikahan sejak masih lajang. Karena pernikahan dianggap prestasi tertinggi yang bisa diraih.
Jika Allah memang belum mengabulkan apa yang kita harapkan, hiburlah diri dengan prasangka baik bahwa semakin Allah menunda insyaAllah semakin baik kualitas yang akan Allah berikan suatu saat nanti karena Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan kesabaran hamba-Nya.

Bagi yang sudah berkeluarga, selayaknya mensyukuri pernikahan dengan mengemban amanah sebaik-baiknya. Kalaupun belum mampu memberikan solusi, menjaga perasaan dan memiliki kepekaan kepada sesama adalah hal terbaik dalam kerukunan kita

1 komentar:

ToM R@mbO mengatakan...

menurut saya pernikahan harus berlandaskan nafsu kalo tidak bagaimana hubungan intim dapat di lakukan