Translate

28/12/09

Kunci ke Sorga adalah Akhlakul Karimah Lahir Bathin


Semua aturan dalam QH adalah mengarahkan kita untuk akhlaqul karimah lahir-batin. Kita bersyukur karena dalam melaksanakan hal tersebut kita telah diberi oleh Alloh wadahnya. Selanjutnya dalam mengelola terserah kepada kita, sebab Alloh telah memberi basic-nya.

Coba anda simak dalam QS Ali Imron: 103 yang berbunyi:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”

Dan sabda Rasuulullah SAW dalam al-Hadits Abu Dawud, yakni:
“Demi Dzat yang diriku dalam genggaman tangan-Nya, tidak dapat masuk surga sehingga orang itu beriman, dan tidak dikatakan sebagai orang yang beriman sehingga orang itu saling mengasihi.”

Semula kita—manusia ini—berada di surga dan karena ‘keadilan’ Alloh—melalui pelanggaran Nabi Adam—maka kita dikeluarkan dari surga.

Ingatlah firman Alloh dalam QS Al-Baqoroh:38,
“Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan”.

Untuk dapat memasuki surga lagi, manusia dilatih dan dididik di ‘lembaga pemasyarakatan’ dunia. Seperti kita ketahui bersama bahwa: “Dunia adalah penjara bagi orang iman dan surganya orang kufur”. (HR Muslim) Untuk dapat
memasuki surga maka kita harus menjadi ‘napi’ yang baik di LP dunia dengan
ucapan, tingkah laku, dan hati kita yang baik. Baik dengan fi’liyah dan qolbiyah.

Kita juga terkadang lupa bahwa ibadah itu merupakan kewajiban kita an sich, padahal Alloh ingin mengetahui tingkat dan derajat amal manusia dan jin sesuai dengan kadar cobaan yang Alloh berikan.
Seperti yang Alloh firmankan dalam QS Al-Kahfi:7, yaitu,
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka”.

Semua bentuk ‘peparing’ Alloh di muka bumi ini adalah sebagai batu
ujian dan tempat berlatih kita untuk kembali ke surga-Nya.

Alloh telah memerintah adam dan hawa untuk turun ke dunia dan boleh kembali ke surga. Maka kita harus perbaiki semua amal kita agar kembali ke surga dengan lancar. Termasuk dalam bagian ini adalah amalan dan perbuatan hati kita. Hati kita juga beramal, maka kita perbaiki hati kita juga.

Sebuah hadits menyebutkan: “…Maka kalian berhati-hatilah pada berangan-angan yang dapat menyesatkan ahlinya angan-angan tersebut…” (HR Bukhori Juz 9 Shohifah 62).

Contoh angan-angan yang dapat menyesatkan diri kita adalah memperistri.. istri orang lain, menjadikan suami... suaminya orang lain dll, yang itu semua dapat membahayakan dan menyesatkan diri kita.

Kita jangan ‘terjebak’ dengan pengertian sebuah hadits yang menyatakan kalau kita masih berangan-angan jelek di hati maka Alloh akan mengampuni dan tidak akan menyiksa. Sebab banyak hadits yang mendeskripsikan bagaimana hati yang tidak baik dan bersih, maka Alloh tidak akan menerima amal orang tersebut. Misalnya, kita sedang sholat, sebenarnyalah hati kita juga sedang menghadap dan bertemu kepada Alloh. Apabila gerakan jasad kita sholat, sedangkan hati kita mengumpat kepada Alloh, tentunya Alloh tidak akan menerima amalan kita. Hal yang berbeda dengan masalah duniawi, kita mungkin menghormat pada atasan kita, tapi hati kita sering menggerutu dan mengumpatnya. Selagi atasan kita tidak tahu apa yang di batin kita dan kita tidak pernah mengucapkannya maka setiap bulan kita mendapatkan gaji darinya..

Contoh lain, ada orang sholat dan dia perbaiki dan perindah bacaan serta gerakan sholatnya. Hal itu dilakukan bukan untuk Alloh tapi untuk orang lain, semisal karena ada sang calon mertua. Itu adalah syirik khofy yang derajatnya termasuk kategori syirik yang harus diwaspadai. Tentunya, para sahabat ingat cerita tentang tiga orang yang beramal TANPA didasari hati ‘Karena Alloh’, yakni pejuang, orang ‘alim dan orang yang dermawan. Mereka tidak mendapatkan pahala dan amalannya ditolak karena amalan hatinya tidak dihadapkan pada Alloh.

Ada lagi konsep husnudhon dan su’udhon. Kita dilarang su’udhon, karena itu adalah perbuatan dan amalan hati yang dapat menghancurkan amal kita yang lain. Hal inilah, mengapa kita harus memperbaiki amalan hati kita, karena hati juga beramal.
Dalam Hadits Bukhori, Nabi pernah bersabda: “Iman adalah ma’rifat di hati, dibenarkan oleh ucapan dan diamalkan badan”.

Oleh karena itulah, kita bersama supaya memperbaiki amal kita masing-masing, termasuk amalan hati kita. Mintalah bagian rejeki bukan hanya harta tapi mintalah dan berdoalah kepada Alloh supaya kita dilimpahkan akhlaq yang baik lahir batin. Misal kita mintakan bagian akhlaq untuk suami, istri, anak, keluarga dan orang tua
kita. Seperti yang tertuang dalam Hadits Ahmad, Rasululloh menegaskan bahwa: “Seseungguhnya Alloh itu membagi akhlaq diantara kalian sebagaimana Alloh memberikan bagian rezeki kepada kalian.”

Bagi orang tua jangan lupa memintakan bagian akhlaq untuk anaknya. Terkadang orang tua telah menyampaikan rangkaian ungkapan kemarahan dan emosinya, yang pada ujungnya selalu memberi aturan-aturan pada anaknya. Bagi anak jangan segan memaafkan orang tua sebab mereka tidak pernah ‘belajar’ untuk menjadi orang tua dan ketika menikah tidak mempunyai kriteria seperti mencari manager perusahaan yang harus berpengalaman dan pernah punya anak banyak.

Bagi suami jangan lupa untuk adil pada istri. Bagi istri supaya berbakti kepada suami.

Dalam masalah mendidik anak,
Kadang kita lupa membekali mereka untuk ‘bersikap’ terhadap dunia, kita hanya
mengajari dan mengarahkan mereka untuk ‘mencari’ dunia. Kita ajari mereka
bagaimana menjadi orang kaya, orang pintar dan orang sukses dalam masalah
dunia. Kita lupa mengajarkan pada mereka bagaimana ‘bersikap’ ketika anak-anak
kita menjadi orang miskin, orang kaya dan ber-akhlaqul karimah.

Pendidikan tersebut merupakan kewajiban orang tua yang hakiki dan itu harus dilakukan oleh orang tua sendiri. Mungkin ada tiga alternative kita mengurusi sendiri, mewakilkan atau menulis melalui surat, namun yakinlah bahwa itu manifestasi dari kewajiban dan amanah yang dipikul oleh orang tua terhadap anaknya.

Marilah kita tengok sejarah para nabi dan orang sholih jaman dulu. Mereka ‘ngawaki’ untuk memberi nasihat dan mengarahkan anak-anaknya untuk beribadah dan ber-akhlaqul karimah.

Misalnya, Nabi Ya’kub (Nabi Isroil,red) sebelum beliau meninggal, beliau mengarahkan anaknya untuk beribadah kepada Alloh. Walaupun hampir sepanjang hidupnya beliau menderita sampai matanya buta karena tingkah polah anak-anaknya—silahkan disimak cerita selengkapnya dalam QS Yusuf—namun menjelang akhir hayatnya, Ya’kub tetap mengarahkan anaknya untuk beribadah pada Alloh semata. Ingatlah firman Alloh dalam QS Al-Baqoroh:133 yang berbunyi: “Adakah kamu hadir ketika Ya’kub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.”

Penghampiran yang lain adalah Luqman. Secara gemilang, Alloh memberikan teladan kepada kita semua agar mencontoh terhadap Luqman bagaimana beliau men-drive anaknya dalam masalah beribadah dan ber-akhlaqul karimah. Marilah kita simak firman Alloh dalam QS Luqman:12-19,

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kelaliman yang besar".

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Lukman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya).. Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap
apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang
diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”
Maasya Alloh, sebuah teladan yang patut kita contoh dan kita jadikan pedoman.

Semua yang ada dan terjadi di dunia ini adalah ‘tempat latihan’ kita beramal di dunia ini.. Maka setiap apa pun yang terjadi pada kita maka kita syukuri sebab itu adalah ‘melatih’ kita memasuki surga.

Kalau kita mempunyai akhlaqul karimah maka tidak ada istilah ‘sayang’. Ada orang yang kaya tapi akhlaq-nya jelek maka orang serta merta mengatakan, “Memang orang itu kaya, sayang koq akhlaq-nya jelek!!”. Ada orang yang pandai tapi akhlaq-nya jelek maka orang serta merta mengatakan, “Memang orang itu pandai, sayang koq akhlaq-nya jelek!!”. Ada orang yang tampan/cantik tapi akhlaq-nya
jelek maka orang serta merta mengatakan, “Memang orang itu tampan/cantik,
sayang koq akhlaq-nya jelek!!”. Dan masih banyak contoh yang lain. Namun
kalau dia ber- akhlaqul karimah, walaupun tidak terlalu pandai dan tidak
terlalu tampan/cantik, bahkan dia orang miskin pun, orang lain tidak akan
mengatakan ‘sayang’ kepadanya. Bahkan orang akan memujinya karena keluhuran akhlaq-nya itu.

Nah, demikianlah para sahabat, kunci surga adalah terletak pada akhlaqul
karimah kita secara lahir dan batin. Marilah kita melatih diri kita masing-masing untuk ke arah tersebut.

Selamat mencoba.

15/12/09

Cinta Sejati (sebuah teladan Khadijah)


Sesungguhnya seorang perempuan berkata “Ya Rasulullah saya adalah tamu perempuanmu,” kemudian dia menyebutkan pahala bagi laki – laki di dalam urusan jihad dan jarahan kemudian dia berkata,’Kemudian apa bagi kami dari demikian itu?” Maka Rasulullah SAW bersabda, “Sampaikanlah kepada orang yang kautemui dari kaum wanita sesungguhnya taat kepada suami dan mengetahui/mengakui hak – hak suami membandingi dengan yang demikian itu, akan tetapi sedikit dari golongan kamu yang mengerjakannya. (Rowahu ath –Thobroni Fi az-Zawaajir)

Saya pernah mendengar perbincangan sekelompok orang, kalau mereka menggolongkan kaum wanita sebagai warga kelas dua. Saya juga masih suka mendengar dari kaum kartini ini, katanya perempuan itu masih dalam alam jajahan pria. Bahkan saya juga banyak mendengar, bincang – bincang, kalau kaum hawa itu dinomorduakan. Hak – haknya tidak sama dengan laki – laki. Entah apalagi, yang jelas keluh – kesah tentang tuntutan persamaan gender, katanya, emansipasi atau apalah…… sejenis itu. Bahkan yang membuat saya sedih, issue itu dijuruskan ke ranah religious. Islam, katanya, juga agama yang masih merendahkan kaum wanita. Apalagi dengan santernya poligami. Secara aklamasi, hal itu dijadikan sebuah ayat suci. Bukti utama, yang shahih untuk melegalkan opini mereka. Subhanallah.

Itu semua adalah suasana yang sentimentil. Penuh emosi. Tak berdalih.
Oleh karena itu, sebelum jauh melebar ke mana – mana, ada hal mendasar yang perlu diketahui bersama. Guna untuk menjawab gossip itu semua. Kalau perlu merubuhkan dogma itu. Nggak perlu ayat atau dalil yang muluk – muluk. Satu hal saja, yaitu bagaimana sih…. para wanita memandang diri mereka sendiri? Apakah mereka merasa direndahkan? Atau mereka merasa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan kaum lelaki? Hal ini sangat penting, sebab sebanyak apapun dalil yang disampaikan, tentu percuma & tak berguna, selama mereka masih meyakini paradigma bahwa wanita itu warga kelas dua. Karena pada dasarnya memang masih banyak wanita yang memposisikan dirinya seperti itu, nomor dua, tertindas, terlindas dan dikebiri hak - haknya. Alih – alih ekspresi ketidakpuasan sesa’at. Dan itulah yang akhirnya diperolehnya.

Tidak dulu, tidak pula sekarang. Pola pikir dan perilaku seperti itu sudah bukan hal baru lagi. Sejak dulu kala sudah ada. Terbukti hadits di atas. Pertanyaan di dalam hadits yang disampaikan seorang perempuan ke Nabi SAW tak lain adalah – kalau dalam bahasa sekarang – tuntutan persamaan gender. Walau ditengarai juga sebagai bentuk fastabiqul khoirot. Namun, nuansa ke-jealousan-nya lebih menonjol. Dengan tegas Nabi SAW memberikan jawaban yang pas bahwa persamaan hak itu dilakukan dengan menjalankan kewajibannya sesuai dengan peran dan kondisinya masing – masing. Sesuai ‘dapukan’nya. Sak pol kemampuannya. Berdasar kodratnya. Itu sudah sama nilainya. Jadi, tidak harus mengerjakan hal serupa untuk memperoleh kedudukan dan pahala yang sama. Cukup dengan melaksanakan tugas masing – masing, itu sudah mencukupi. Sayangnya, manusia - kata orang jawa, itu sawang – sinawang. Orang perempuan ngelihat menjadi laki-laki itu lebih baik dan lebih enak. Laki – laki juga melihat kalau jadi perempuan itu lebih baik dan lebih senang. Seorang guru, melihat menjadi dokter itu enak. Demikian juga dengan dokter, melihat profesi guru itu kayaknya lebih enak. Begitu terus. Tanpa henti. Sampai orang itu menemukan kesadaran dan kemampuan bersyukur setiap saat, bahwa apa yang diberikan dan dipilihkan Allah itu adalah yang paling baik dan sempurna. Allahu akbar.

Demikian juga dalam bangunan Rumah Tangga. Pengertian dan pengakuan atas hak – hak dan kewajiban masing – masing adalah hal yang utama. Jangan berharap terjalin hubungan yang baik jika tidak dibarengi pengakuan dan pemahaman hak dan kewajiban masing – masing dengan baik. Suami mengakui hak istri. Istri mengetahui hak suami. Suami membantu istri. Istri membantu suami. Bahu – membahu.

Tatkala suami di rumah, suami menjadi pemimpinnya. Tatkala suami pergi, istri menjadi pimpinan rumah tangganya. Dan ketika suami pulang, istri menyerahkan kembali esensi kepemimpinan kepada yang berhak. Estafet yang indah. Mata rantai yang romantis. Komunikasi yang harmonis.

Maka, seorang istri jika bisa taat suami, menjadi jenderal yang baik di rumah suaminya, dan mengetahui hak – hak suami, maka itu membandingi pahala jihad. Nggak perlu mengangkat pedang. Nggak perlu jauh – jauh menempuh perjalanan. Toh hasilnya sepadan.

Kesadaran dan pemahaman seperti inilah yang perlu dimiliki setiap pasangan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya masing – masing. Demi menemukan persamaan hak yang sebenarnya. Bukan persamaan peran.

Bagaimana kalau keadaannya terbalik?

Lihatlah Khadijah. Waktu itu Nabi yang berusia 25 tahun, menikah dengan Khadijah yang berusia 40 tahun. Seorang janda kaya. Dan dari Khadijah inilah Nabi mendapatkan 5 keturunan. Sampai akhirnya Khadijah wafat.

Cermatilah bagaimana Khadijah merelakan semua hartanya untuk berjuang suaminya. Bagaimana seluruh jiwa - raganya mendukung penuh niat luhur suaminya. Menghibur tatkala sedih. Melindungi tatkala terancam. Menyediakan perbekalan, tatkala diperlukan untuk dakwah. Semata – mata karena mengetahui akan hak dan kewajibannya. Istri lebih banyak kerja daripada suami. Atas dasar kasih dan sayang. Keluhuran budi. Semua kekurangan yang ada pada diri suami menjadi tak berarti lagi. Yang dilakukan Khadijah adalah apa yang bisa saya berikan kepada suami saya? Bukan tuntutan apa yang diberikan suami saya kepada saya. Dan apa yang didapatkan? Sebuah cinta sejati. Tulus dan murni. Cinta suci, yang tak lekang ditelan waktu. Sampai – sampai hal itu membuat cemburu istri – istri Nabi setelahnya. Sebab tak ada cinta dan kasih terindah sebagaimana diperani Khadijah. Padahal Khadijah sudah lama dan tidak ada lagi di dunia.

Pengakuan hak, bukan hanya sekedar tahu. Ia bukan hanya pengetahuan. Tapi lebih kepada penghayatan dan praktik nyata. Ketika sudah dihayati dan diamalkan, maka buahnya akan kita petik dan rasakan bersama. Dan ini bukan hal yang mudah sebab Nabi sudah mengingatkan – hanya sedikit yang mampu melakukannya!.

10/12/09

Memilih Pasangan


Disadari atau tidak, dasar sebagian besar orang berumah tangga adalah untuk menyempurnakan agamanya. Hal inilah yang perlu diwanti – wanti, dicermati terus guna membangun sebuah rumah tangga yang bahagia.

Rasulullah SAW bersabda, “Ketika seorang hamba menikah, maka sungguh ia telah menyempurnakan separo agamanya, maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah pada separo sisanya.” (Rowahu al-Baihaqi)

Sebagai start awal dan dasar tindakan, maka ke depannya harus dipahami terus dan dilestarikan, jika dalam perjalanan biduk rumah tangganya melenceng atau keluar jalur dari tujuan utamanya: untuk menyempurnakan agama. Bagi pasutri yang tidak meletakkan niat menyempurnakan agama ini sebagai hal yang utama dan number one, maka sebaiknya harus segera dikoreksi. Taruhlah hal ini sebagai prioritas utama. Sebab kesempurnaan agama yang dimaksud bukanlah kesempurnaan agama satu pihak saja. Kesempurnaan agama suami thok atau kesempurnaan agama istri thok. Melainkan kesempurnaan agama bagi kedua belah pihak, baik suami maupun istri. Jadi, kalau yang merasa diuntungkan hanya sebelah pihak saja berarti kurang sempurna. Harus dua – duanya. Ya, baik dari suami maupun istri. Dan keadaan saling menguntungkan inilah maksud adanya janji pertolongan Allah karenanya.

Dari Abu Huroiroh ra. ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Ada tiga manusia yang Allah pasti menolong mereka, yaitu mujahid di jalan Allah, budak yang berniat melunasi pembebasannya, dan orang yang menikah karena ingin terjaga.” (Rowahu at-Tirmidzi, ia berkata ini hadits hasan shohih).

Karena dasar menyempurnakan agama itu bersifat universal, multi aspek, maka ia tidak menafikan adanya pilihan – pilihan lain dalam memilih calon pasangan. Boleh pilih yang cantik rupawan, boleh memilih yang model kebarat – baratan, boleh yang kriting, dsb asal suka dan agamanya oke punya. Juga boleh memilih yang kaya, bisnisman, enterpreneur, dsb yang penting punya agama yang paten. Boleh juga memilih yang ningrat, berpangkat, dsb asal tetap ditunjang agama yang baik. Atau bahkan gabungan dari ketiganya cantik, kaya dan ningrat dengan kualitas pemahaman agama yang akuntabel. Orang jawa bilang bobot, bibit, bebet. Namun pilihan – pilihan itu ada konsekuensi dan problematikanya, sehingga Nabi SAW memberikan password agar dalam mengusung niat berumah tangga atas dasar agama. Sebab ia mencukupi, mampu mewadahi dan melintasi batas ketiga unsur lainnya.

Dari Abu Huroiroh ra., bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Perempuan itu dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya, raihlah/carilah yang taat beragama, niscaya kamu beruntung.” (Rowahu al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ibnu Majah).

Pada dasarnya kecantikan, kedudukan dan kekayaan bersifat lahiriah semata. Sedangkan ketaatan beragama bersifat lahir dan batin. Berasal dari kepahaman hati dan tampak dalam amalan. Kepahaman membungkus setiap sifat dan gerak – gerik dalam keseharian. Singkatnya dengan mempunyai kepahaman agama yang baik, seperti bertindak di saat yang tepat, tempat yang tepat dan sasaran yang tepat. Jadi tidak pernah meleset. Oleh karena itu, sungguh sangat berharga mempunyai pasangan yang taat beragama.

Dari Anas ra., bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang dikaruniai Allah istri yang sholihat, maka sungguh Allah telah menolongnya atas separo agamanya, maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam separo yang lainnya.” (Rowahu ath – Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath dan al –Hakim)