Translate

01/11/12

Kenapa kita tidak bersyukur


Sebuah tulisan menarik dari ust Faizun

Di suatu waktu, di suatu tempat, aku seperti terlahir kembali. Usia yang terus bertambah, kehidupan yang terus bergulir, semakin menambah mutu hidup ini.  Laksana air mengalir. Satu  per satu pencerahan datang, seiring kesabaran yang terus bertambah dan mengembang. Kehidupan adalah pembelajaran.

Nun jauh di sana, banyak anak manusia masih berkubang dengan keluh - kesah hidup dan kehidupan.  Persangkaannya menuntun pada kondisi bahwa dirinya adalah orang yang paling menderita sedunia. Dari dulu hanya sedih dan duka saja yang diterima. Rasanya tidak ada sebentuk kebahagiaan yang mampir kepadanya. Rangkumnya; jauh dengan kebahagiaan dan akrab dengan penderitaan. Adakah kehidupan berwajah seburuk itu?

Dari dulu, orang – orang tercerahkan selalu menjadi pusat perhatian. Fas’aluu ahladz dzikri inkuntum laa ta’lamuun.  Bukan karena tabungan harta dan tumpukan kekayaannya, melainkan – kalimat hikmah - sikap lembutnya terhadap kehidupan ini. Tutur katanya indah. Gerak – gerikanya menawan. Sikapnya menyejukkan. Pribadinya mendamaikan. Maka, awam melihat seolah kehidupan selalu berpihak kepadanya. Tak pernah terlihat sedih, bahagia selalu. Beruntung terus. Tak kenal sial. Tak heran, orang tercerahkan sekaligus menjadi tempat bertanya. Harapannya berkah mengalir dari tutur katanya, menyirami hati – hati yang lagi mati, jiwa – jiwa yang tak sadar diri, sehingga hidup bersinar kembali. Dan selarik indah kata yang sering terucap dalam menghadapi berbagai masalah hidup ini adalah; kenapa kita tidak bersyukur?

 “Ya…, aku mengerti apa yang Anda alami. Tidak hanya Anda, akupun dulu begitu. Sama. Pernah mengalami hal itu, bahkan lebih dan mungkin banyak lagi orang lainnya. Sekarang aku akan mengambil satu kertas putih ukuran A4 yang kosong dan kita lihat apa yang bisa kita lakukan dengannya. Sekarang, perhatikan apa yang Anda lihat ?”, ucap sang bijak kepada sang penanya sambil menunjukkan kertas A4 itu kepadanya.
“Aku tidak melihat apa-apa. Hanya kertas  A4. Semuanya putih. Kosong”, jawabnya.
“Ya, Anda benar.”  Kemudian sang bijak mengambil spidol hitam dan membuat satu titik di tengah kertasnya. Kemudian ia meletakkan spidol dan mengangkat kertas itu ke hadapan si penanya, seraya berkata, “Nah…, sekarang aku telah membuat sebuah titik hitam di atas kertas itu. Sekarang apa yang Anda lihat?”.
“Aku melihat satu titik hitam,” jawab si penanya dengan cepat.
“Cobalah pastikan lagi! Apakah benar yang Anda katakan?” timpal sang bijak.
“Tidak salah lagi, sebuah titik hitam,” jawab si penanya.
“Coba lagi! Pastikan. Benarkah?” timpal sang bijak.
“Ya, sebuah titik hitam. Tak salah,” jawab si penanya dengan yakinnya.

“Sekarang aku tahu masalah Anda. Dari tadi, kenapa hanya satu titik hitam saja yang Anda lihat dari kertas ini? Bukankah yang hitam hanya sedikit? Yang lainnya masih utuh putih bukan? Sekarang cobalah rubah sudut – pandang Anda. Menurutku yang kulihat bukan titik hitam, melainkan tetap sebuah kertas putih meski ada satu noda hitam di dalamnya. Aku melihat lebih banyak warna putih dari kertas tersebut. Putih yang dominan. Bukan noktah hitamnya. Namun, kenapa Anda hanya melihat hitamnya saja, padahal itu hanya setitik?” penuturan sang bijak penuh makna.

“Sama dengan kertas putih tadi gambarannya, bukankah di sekeliling kita juga penuh dengan warna putih, yang artinya begitu banyak anugerah dan karunia yang telah diberikan oleh Allah kepada kita dibandingkan dengan noktah hitam berupa mushibah dan bencana? Itulah perbedaan kita. Itulah yang membedakan,” jelas sang bijak menutup tutur katanya yang penuh pesona.

“Fabiayya Aalaa’i Robbikumaa Tukadz-dzibaan - Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang (bisa) kamu dustakan?” (QS ar-Rahmaan 13) Bahkan Allah mengulangnya sebanyak 31 kali dalam surat itu. Begitu mendasar, bersahaja, akan tetapi banyak mata hati tertutupi awan penghalang dan dilupakan begitu saja dari kalbu, tuk sekedar mengingatnya.
Dalam hidup, bahagia atau tidaknya hidup banyak ditentukan bagaimana sudut pandang kita memandang hidup itu kejadian per kejadian. Tahap demi tahap. Waktu demi waktu. Jika kita selalu melihat titik hitam tadi yang bisa diartikan hanyalah potongan hidup yang berisikan kekecewaan, kekurangan dan keburukan dalam hidup, maka hal-hal itulah yang akan selalu hinggap dan memenuhi benak kita. Kekecewaan dan kekecewaan terus yang akan menemani sepanjang waktu. Namun sebaliknya, jika bisa memandang hal- hal yang positif, yang baik dan membahagiakan dalam hidup ini, hidup memanglah sebuah pemberian yang tiada duanya. Penuh suka-cita. Penuh warna. Karenanya, janganlah selalu melihat sebuah titik hitam saja dalam hidup ini? Ingatlah selalu: “Fabiayya Aalaa’i Robbikumaa Tukadz-dzibaan - Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang (bisa) kamu dustakan?”